Jumat, 03 Januari 2014

CERPEN


JANGAN KAU PERGI

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu… Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada…”
“Kahlil Gibran”

Pagi itu terasa tak biasa lagi, tak sesederhana saat kau selalu setia berada menemaniku, menemani pagi indahku, menemani pagi kelabuku dan pagi-pagiku yang telah berlalu. Namun dengan rasa berat aku coba untuk menguatkan urat-urat syarafku untuk mengangkat tubuhku yang begitu terasa lemas. Entah apa yang terjadi, tak ada gairah, tak ada semangat yang bisa aku rasakan. Jangankan untuk terbang tinggi, untuk berdiri saja aku sudah tak bisa lagi.
Dengan sisa kekuatan yang aku miliki, aku awali aktifitasku seperti biasa meski tak lagi sederhana. Dimana semangatku, dimana gairah hidupku, dimana kamu.?
***

Jangan Kau Pergi
Aku masih tak bisa menyembunyikan kesedihanku pada siswa-siswaku dikelas,
“ada apa pak,
kenapa pak,
apa yang terjadi pak?”
pertanyaan-pertanyaan itu seakan menjadi gumpalan salju yang siap menimpaku, “subhanallah..” hanya senyuman yang sangat memaksa yang bisa aku berikan kepada mereka.
“ma’af nak, kalian aku libatkan dalam masalahku, kau ku ikut campurkan dalam kesedihanku”
ucapku dalam hati yang seakan bersalah pada mereka karena aku telah mengganggu pelajaran mereka. Ya aku telah melibatkan masalahku kedalam kegiatan belajar mereka. Namun mau bagaimana lagi, aku sudah tidak bisa meletakkan sejenak masalahku yang menjadi kesedihanku dan meninggalkannya dilemariku yang berantakan penuh dengan pakaian yang tergeletak sembarangan, masalahku dengan Marisa sosok perempuan yang telah menjadi sayap-sayapku, dan bagaimana mungkin aku bisa terbang tanpa sayap-sayap itu dipunggungku.
“aku tak ingin kau pergi meninggalkanku”
Tett,,,tet,,tet,,, bel pulang sekolah pun ahirnya terdengar begitu nyaring ditelingaku. Tanpa banyak ngobrol dengan dewan guru dikantor, aku langsung bergegas pulang. Karena aku tak ingin melibatkan kesedihanku ini pada mereka juga.
Ditengah panasnya terik matahari yang begitu menyengat serta padatnya kendaraan yang melintas di Jl. Panglima Sudirman-bekasi. Ku pacu kuda besiku yang begitu setia menemani perjalananku dengan begitu cepat, bukan sok pembalap, namun hanya keinginan agar cepat sampai rumah dan tidur, mencoba melepaskan beban ini sejenak.

Namun, bukan istirahat dengan tenang yang bisa aku rasakan, melainkan beban ini terasa begitu berat dan begitu jelas terlihat dikedua bola mataku.
“ke warung yuk Bram” suara Indra tiba-tiba menyadarkanku dari rasa kalutku.
“hah..??” sahutku yang kurang jelas dengan ajakan Indra
“ayo kewarung dari pada gak jelas begitu, tidur nggak, bangun juga nggak” jawab Indra yang seakan mengetahui keadaanku.
“lagi malas Dra, panas” alibiku
“gaya lo, kaya gak tau cuaca sini saja”

Hanya senyum terpaksaku yang dapat aku lontarkan pada Indra.
Dengan berat hati aku coba untuk menghubungi Marisa melalui handphone yang dari tadi berada digenggaman tanganku menunggu adanya pesan darinya, mungkin dia sudah memberikan maafnya padaku, memang semua kesalah fahaman ini akibat ulahku yang tak bisa memahami perasaannya. Tapi bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur tak mungkin bisa dikembalikan menjadi beras lagi. Hanya maafnya yang bisa aku harapkan saat ini.

Usahaku sia-sia, jangankan kata pemaafan dibalas saja tidak, pikiranku semakin tak karuan, mataku mulai berkaca-kaca, namun semampu mungkin akan ku pertahankan agar air itu tidak mengaliri pipiku.
Ku masih tetap berdiri
Ku rasakan sepi dan seakan mati
Di antara ribuan kata
Di antara jutaan suara
Yang terdengar keras di telinga
Entahlah, ragaku seakan tanpa daya
Yang kian kaku ditinggal jiwa
Mungkinkah, jiwaku kembali dan
Dapat membawaku dalam keramaian
Dapat membebaskanku dari kesunyian
Kesunyian yang kurasakan diantara jutaan kegembiraan

Hinggah malam tiba dan pagi bisa lagi aku jumpa, tak ada kabar gembira atas harapan penerimaan maaf dari Marisa. Lagi-lagi aku lalui hari ini dengan berjuta gelisah yang tak lagi sederhana seperti saat kau ada, mungkin ini adalah akhir dari perjalananku, haruskah aku menyerah dengan sejuta pedang yang menancap dan mengalirkan derasnya darah yang terus membasahiku dan semakin menenggelamkanku. Dan aku akan hanyut dalam aliran itu serta pasrah kemana aliran itu membawaku dan kian menghanyutkanku.
Entahlah,,,,

Aku hanya ingin kamu, aku hanya ingin merahnya mawar, bukan merah yang kian pudar. Aku disini masih menunggumu, menunggu maafmu, bukan karena aku malu dengan salahku, tapi memang aku ingin kamu, jangan tinggalkan aku.


sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar