NAMA : PANCA RAGIL RIZKIANTO
NPM : 25211489
KELAS : 2EB24
TUGAS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
BAB 4
HUKUM
PERIKATAN
PENGERTIAN
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver
bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia.
Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap
orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa
perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya
seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak
pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang
bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan
bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri
diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi
antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah
suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih
di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum,
akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam
bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata,
pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara
dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo
memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak
(kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah
suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan
dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur)
mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap
pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk
melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa
Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an
kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah
dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian
perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal
yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita.
Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu
perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah
demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem
yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat
mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan
bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan
berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar
hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk
berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan
untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal,
tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan
untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang
telah disepakati dalam perjanjian
DASAR
HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP
perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.
Perikatan yang timbul dari
persetujuan (perjanjian)
definisi perjanjian secara
epistimologi adalah arrobt(u)atau perikatan, dan secara etimologi; kesepakatan
kedua belah pihak atau lebih untuk melakukansesuatu hal yang telah disepakati.
Dan syarat syahnya perjanjian harus adanya kesepakatan antara kedua belah
pihak, jadi di dalam isi perjanjian, kedua belah pihak harus saling
mengetahui maksud dari perjanjian tersebut, dan tidak boleh hanya menguntungkan
satu pihak saja. Dan syarat yang lainnya, adanya obyek yang halal, yang
tidak melanggar undang-undang dan norma-norma kehidupan di masyarakat.
Dan sumber tidak adanya perjanjian dapat dibagi menjadi; pertanggung jawaban
yang timbul karena kelalaian, memperkaya diri tanpa alasan, dan undang-undang.
2.
Perikatan yang timbul
undang-undang.
Perikatan yang berasal dari
undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan
yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet
allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge
van’s mensen toedoen).
AZAS-AZAS
DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur
dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualisme.
a.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas
kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b.
Asas konsensualisme Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat adalah
-
Kata Sepakat antara Para Pihak
yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri,
yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata
dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
-
Cakap untuk Membuat Suatu
Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus
cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah
pengampuan.
-
Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas
dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek,
diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu
perselisihan antara para pihak.
-
Suatu sebab yang Halal Suatu
sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa)
yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
WANPRESTASI
DAN AKIBAT-AKIBATNYA
Wansprestasi timbul apabila salah satu
pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
-
Tidak melakukan apa yang
disanggupi akan dilakukannya;
-
Melaksanakan apa yang
dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
-
Melakukan apa yang dijanjikan
tetapi terlambat;
-
Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang
melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
-
Membayar Kerugian yang Diderita
oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a.
Biaya adalah segala pengeluaran
atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b.
Rugi adalah kerugian karena
kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si
debitor;
c.
Bunga adalah kerugian yang
berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh
kreditor.
-
Pembatalan Perjanjian atau
Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248 KUH Perdata.Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan
membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
-
Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi
obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
HAPUSNYA
PERIKATAN
Hapusnya 1381 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata menyebutkan 10 cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut,
yaitu:
1.
Pembayaran
Pembayaran dimaksudkan
setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arrti yang sangat luas,
tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualpun
membayar jika ia menyerahkan barang yang dijualnya.
Pembayaran harus dilakukan
kepada pihak kreditur atau kepada pihak yang dikuasakan olehnya atau juga
kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh undang-undang untuk menerima
pembayaran bagi pihak kreditur.
2.
Penawaran Pembayaran Tunai
diikuti dengan Penyimpanan Penitipan
Ini adalah suatu cara
pembayaran yang harus dilakukan apabila pihak kreditur menolak pembayaran.
Caranya sebagai berikut, barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan
secara resmi oleh seorang notaries atau seorang juru sita pengadilan.
Setelah penawaran
pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu,
disimpankan atau dititipkan kepada panitera Pengadilan Negeri dengan demikian
hapuslah hutang-piutang itu. Barang atau uang tersebut berada dalam simpanan di
kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan atau resiko si berpiutang. Si
berhutang sudah bebas dari hutangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk
menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh
si berhutang.
3.
Pembaharuan Hutang atau Novasi
Novasi adalah suatu
persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang
bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan
semula.
Menurut pasal 1431 kitab undang-undang
hukum perdata ada # macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang,
yaitu:
a.
Novasi Obyektif
Apabila seorang yang
berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orangbyang akan
menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan
karenanya.
b.
Novasi Subyektif Pasif
Apabila seorang berhutang
baru ditunjukan untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si
berpiutang dibebaskan dari perikatannya.
c.
Novasi Subyektif Aktif
Apabila sebagai akibt dari
suatu perjanjian baru seorang kreditur bru ditunjuk untuk menggantikan kreditur
yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.
4.
Perjumpaan Hutang atau
Kompensasi
Adalah suatu cara
penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan
hutang-piutang secara timbale balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang
saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan
dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah yang
diterangkan oleh pasal 1424 Kitab Undang-undang Hukum Peerdata.
Misalnya A berhutang
sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada
A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih
mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi
undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
a.
Kedua-duanya berpokok sejumlah
uang atau.
b.
Berpokok sejumlah barang yang
dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah
barang yang dapat diganti.
c.
Kedua-keduanya dapat ditetapkan
dan dapat ditagih seketika.
5.
Percampuran Hutang
Apabila kedudukan sebagai
pihak kreditur dan pihak debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah
demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana hutang piutang itu dihapuskan.
Percampuran hutang yang
terjadi pada pihak debitur utama berlaku juga untuk keuntungan penanggung
hutangnya sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang penanggung hutang
tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
6.
Pembebasan Hutang
Undang-undang tidak
memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang
adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-
Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH
Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus
dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh
kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang
maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang
tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau
penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1)
pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para
penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang,
tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
7.
Musnahnya Barang yang Terhutang
Jika barang tertentu yang
menjadi obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, ataun
hilang sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada,
maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan
si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur
itu lalai menyerahkan barang itu, ia pun akan bebas dari perikatan apabila ia
dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian
diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama
meskipun sudah berada ditangan kreditur.
8.
Pembatalan
Bidang kebatalan ini dapat
dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum
karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan
dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami
istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum
yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A
menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi
pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat
dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan
perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap
berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual
dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi
kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur
dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan.
Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika
terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum,
ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi
ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika
undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
9.
Berlakunya Suatu Syarat Batal
Perikatan bersyarat itu
adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang
masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan
lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan
menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama,
perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termasuk itu terjadi. Dalam
hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir
dibatalkan apabila peristiwa yang termasuk itu terjadi. Perikatan semacam yang
terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
10.
Lewatnya waktu
Menurut pasal 1926 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yang dinamakan “lewat waktu” adalah suatu upaya
untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan
lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang.
Dari ketentuan Pasal
tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
·
Lampau waktu untuk memperolah
hak milik atas suatu barang, disebut ”acquisitive prescription”;
Lampau waktu untuk
dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut
”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari
istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu
”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja
istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.
SUMBER:
F. KATUUK NELTJE, ASPEK HUKUM DALAM BISNIS.
UNIVERSITAS GUNADARMA